Selasa, 02 Oktober 2012
Senin, 21 Mei 2012
OTITIS MEDIA
SUPURATIF KRONIK (OMSK)
A.
PENGERTIAN
OMSK adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau
hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening, atau berupa nanah
(Sjamsuhidajat,2007).
OMSK dibagi menjadi 2 tipe :
1. OMSK
tipe benigna (tipe mukosa = tipe aman)
Proses peradangan
terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi
terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna jarang menimbulkan komplikasi
yang berbahaya. Pada OMSK tipe benigna tidak terdapat kolesteatom.
2. OMSK
tipe maligna (tipe tulang = tipe bahaya)
OMSK tipe maligna ialah
OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. Perforasi terletak pada marginal atau
di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma dengan perforasi subtotal.
Sebagian komplikasi yang berbahaya atau total timbul pada atau fatal, timbul
pada OMSK tipe maligna.
B.
ETIOLOGI
Faktor
yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis :
1.
Gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis akibat :
a.
Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau
berulang.
b.
Obstruksi anatomik tuba eustachius parsial / total
2. Perforasi membran timpani yang
menetap
3. Terjadinya metaplasia
skuamosa/perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi
telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan
parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi (timpanosklerosis).
5. Terdapat daerah-daerah dengan
sekuester atau osteomielitis persisten di mastoid.
6. Faktor-faktor konstitusi dasar
seperti alergi, kelemahan umum, atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.
C.
PATOFISIOLOGI
Otitis media cronis bisa kambuh setelah infeksi
tenggorokan dan hidung (misalnya pilek) atau karena telinga kemasukan air
ketika mandi atau berenang. Penyebabnya biasanya adalah bakteri. Dari telinga
keluar nanah berbau busuk tanpa disertai rasa nyeri. Bila terus menerus kambuh,
akan terbentuk pertumbuhan menonjol yang disebut polip, yang berasal dari
telinga tengah dan melalui lubang pada gendang telinga akan menonjol ke dalam
saluran telinga luar. Infeksi yang menetap juga bisa menyebabkan kerusakan pada
tulang-tulang pendengaran (tulang-tulang kecil di telinga tengah yang
mengantarkan suara dari telinga luar ke telinga dalam) sehingga terjadi tuli
konduktif. Perforasi marginal (lubang terdapat di pinggiran gendang telinga).
Bisa terjadi tuli konduktif dan keluarnya nanah dari telinga. OMC dibagi dalam
2 jenis, yaitu benigna atau tipe mukosa dan maligna atau tipe tulang.
Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif dikenal tipe aktif
dan tipe tenang. Pada Otitis media chronis
benigna peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak mengenal tulang Perforasi terletak disentral. Jarang
menimbulkan komplikasi berbahaya dan
tidak terdapat kolesteatom OMC
tipe maligna disertai dengan kolesteatom. Perforasi terletak marginal, subtotal
atau di atik.
Sering menimbulkan komplikasi atau fatal
D.
MANIFESTASI KLINIS
1. Perforasi pada marginal atau pada
atik.
2. Abses atau kiste retroaurikuler
(belakang telinga)
3. Polip atau jaringan granulasi di
liang telinga luar yang verasal dari dalam telinga tengah.
4. Terlihat kolesteatom pada telinga
tengah (sering terlihat di epitimpanum).
5. Sekret berbentuk nanah dan berbau
khas (aroma kolesteatom)
6. Terlihat bayangan kolesteatom
pada foto rontgen mastoid
7. .Demam
8. Nyeri retroorbita pada sisi telinga yang
terinfeksi
9. Nistagmus dan vertigo
10. Paralisis fasial pada sisi telinga yang
terinfeksi
11. Nyeri kepala dengan atau tanpa letegia.
12. Papil edema
13. Meningismus
E.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan
Laboratorium.
2. pemeriksaan Diagnostik
a) Tes
Audiometri : AC menurun
b) X
ray : terhadap kondisi patologi
Misal :
Cholesteatoma, kekaburan mastoid.
3. Pemeriksaan
pendengaran
4. Tes
suara bisikan
5. Tes garputala
F.
KOMPLIKASI
Komplikasi
OMSK diklasaifikasikan sebagai berikut :
1.
Komplikasi di telinga tengah :
a.
Perforasi persisten
b.
Erosi tulang pendengaran
c.
Paralisis nervus fasial
2.
Komplikasi di telinga dalam :
a.
Fistel labirin
b.
Labirinitis supuratif
c.
Tuli saraf
3.
Komplikasi di ekstrasdural :
a.
Abses ekstradural
b.
Trombosis sinus lateralis
c.
Petrositis
4.
Komplikasi ke susunan saraf pusat :
a.
Meningitis
b.
Abses otak
c.
Hidrosefalus otitis
G.
PENATALAKSANAAN
Terapi
OMSK memerlukan waktu lama serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak
langsung cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain
disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan :
1.
Adanya perforasi membran timpani yang permanen
sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar.
2.
Terdapat sumber infeksi di laring, nasofaring,
hidung, dan sinus paranasal.
3.
Sudah terbentuk jaringan patologi yang irreversibel
dalam rongga mastoid.
4.
Gizi dan higiene yang kurang.
1. Prinsip Terapi OMSK
berdasarkan tipe:
a. Tipe Benigna
Ialah dengan konservatif atau medikamentosa. Bila sekret yang keluar
terus menerus, maka diberi obat pencuci telinga berupa larutan H2O2
3% selama 3 – 5 hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan
memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid.
Bila sekret sudah kering tetapi perforasi masih ada, setelah diobservasi
selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti.
Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki
membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaran yang lebih berat serta memperbaiki pendengaran
Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada atau
terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih
dahulu, mungkin juga perlu dilakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan
tensilektomi.
b. Prinsip Terapi OMSK tipe Maligna
Ialah pembedahan yaitu mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti.
Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara
sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses sub periosteal
retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum
dilakukan mastoidektomi.
2. Jenis Pembedahan Pada OMSK
Ada
beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK
dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain :
a. Mastoidektomi Sederhana.
Operasi
ini dilakukan pada OMSK tipe benigna yang pada pengobatan konservatif tidak
sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan ruang mastoid dari
jaringan patologik. Tujuannya ialah supaya infeksi tenang dan telinga tidak
berair lagi. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
b. Mastiodektomi Radikal.
Operasi
ini dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau kolesteatom yang sudah
meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari
semua jaringan patologik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga
tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut
menjadi satu ruangan. Tujuan operasi nin adalah untuk membuang semua jaringan
patologik dan mencegah komplikasi ke intra kranial. Fungsi pendengaran tidak
diperbaiki. Kerugian operasi ini ialah pasien tidak diperbolehkan renang seumur
hidup, pasien harus kontrol teratur, pendengaran berkurang sekali. Modifikasi
operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga operasi serta
membuat meatal / plasti yang lebar, sehingga rongga operasi kering permanen,
tetapi terdapat cacat anatomi yaitu meatus luar liang telinga menjadi lebar.
c. Mastiodektomi Radikal dengan
modifikasi (Operasi Bondy)
Operasi
ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi belum merusak
kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan, dan dinding posterior liang
telinga direndahkan. Tujuan operasi ialah, untuk membuang semua jaringan
patologik dari rongga mastoid dan mempertahankan pendengaran yang masih ada.
d. Miringoplasti
Operasi
ini merupakan jenis timpanoplasti yang paling ringan, dikenal juga dengan nama timpanoplasti
tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan pada membran timpani. Tujuan operasi ini
ialah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada OMSK tipe benigna
dengan perforasi yang menetap. Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe benigna
yang sudah tenang dengan ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi
membran timpani.
e. Timpanoplasti
Operasi
ini dikerjakan pada OMSK tipe benigna dengan kerusakan yang lebih berat atau
OMSK tipe benigna yang tidak bisa ditenangkan dengan pengobatan medikamentosa.
Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran.
Pada operasi ini, selain rekonstruksi membran timpani juga dilakukan
rekonstruksi tulang pendengaran (timpanoplasti tipe II, II, IV, V sebelum
rekonstruksi dikerjakan lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani dengan
atau tanpa mastoidektomi untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak jarang,
operasi ini terpaksa dilakukan 2 tahap dengan jarak waktu 6 –12 bulan
f. Timpanoplasti dengan pendekatan
ganda (Combined Approach Tympanoplasty)
Merupakan
teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada kasus OMSK tipe maligna atau
benigna dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan operasi ialah untuk
menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik mastiodektomi
radikal. Membersihkan kolesteatom dan jaringan granulasi di kavum timpani,
dikerjakan melalui 2 jalan (combined Approach) yaitu melalui liang
telinga dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior.
H.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas
klien
2. Keluhan
utama
Biasanya
klien mengeluh adanya nyeri hebat, apalagi jika daun telinga disentuh. Adanya
sekret yang keluar dari telinga, kadang-kadang disertai bau yang tidak sedap.
Terjadi pembengkakan pada liang telinga. Terjadi gangguan pendengaran dan
kadang-kadang disertai demam. Telinga juga terasa gatal.
3. Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan
sejak kapan keluhan dirasakan, apakah tiba-tiba atau perlahan-lahan, sejauh
mana keluhan dirasakan, apa yang memperberat dan memperingan keluhan dan apa
usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi keluhan.
4. Riwayat
penyakit dahulu
Tanyakan
pada klien dan keluarganya ; apakah klien dahulu pernah menderita sakit seperti
ini ?, apakah sebelumnya pernah menderita penyakit lain, seperti panas tinggi,
kejang ?, apakah klien sering mengorek-ngorek telinga sehingga terjadi trauma
?, apakah klien sering berenang ?, Apakah klien saat dilahirkan cukup bulan,
BBLR, apakah ibu saat hamil mengalami infeksi, dll.
5. Riwayat
penyakit keluarga
6. Apakah
ada diantara anggota keluarga klien yang menderita penyakit seperti klien saat
ini dan apakah keluarga pernah menderita penyakit DM.
PEMERIKSAAN FISIK
a. Inspeksi
Inspeksi
liang telinga, perhatikan adanya cairan atau bau, pembengkakan pada MAE, warna
kulit telinga, apakah terdapat benda asing, peradangan, tumor. Inspeksi dapat
menggunakan alat otoskopik (untuk melihat MAE sampai ke membran timpany).
Apakah suhu tubuh klien meningkat.
b. Palpasi
Lakukan
penekanan ringan pada daun telinga, jika terjadi respon nyeri dari klien, maka
dapat dipastikan klien menderita otitis eksterna sirkumskripta.
DATA SUBJEKTIF DAN OBJEKTIF
a. Data subjektif
-
Klien mengeluh
pendengarannya berkurang, sering keluar sekret yang berbau.
-
Klien mengeluh
telinganya sakit/nyeri atau terasa gatal.
-
Klien mengatakan
terjadi trauma pada telinganya (karena jatuh, berolahraga, dll).
-
Klien sering berenang
dan mengorek telinganya.
b. Data
objektif
-
Klien berespons
kesakitan saat daun telinganya disentuh.
-
Klien tampak menggaruk-garuk telinganya atau
meringis kesakitan.
-
Klien sering mendekatkan
telinganya kepada perawat saat perawat berbicara.
-
Tampak sekret yang
berbau.
-
Adanya benjolan atau furunkel pada telinga
atau filamen jamur yang berwarna keputih-putihan.
-
Liang telinga tampak
sempit, hyperemesis dan edema tanpa batas yang jelas.
I.
MASALAH KEPERAWATAN
1.
Nyeri berhubungan dengan proses peradangan
2.
Gangguan sensori / presepsi
berhubungan dengan kerusakan pada telinga tenga
3.
Intoleransi aktifitas berhubungan
dengan nyeri
4.
Ansietas berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan
5.
Resiko tinggi trauma berhubungan
dengan gangguan presepsi pendengaran
6.
Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan
Senin, 20 Februari 2012
POST SC
POST SC (SECTIO CAESAREA)
A. Pengertian
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus (Sarwono , 2005).
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh(Gulardi & Wiknjosastro, 2006).
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim (Arif Mansjoer, 2002).
B. Etiologi
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab dilakukan sectio caesarea :
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu.
4. Bayi kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
5. Faktor hambatan jalan lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
a) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
b) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
c) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b. Letak Sungsang
(Saifuddin, 2002) Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki.
D. Pemeriksaan Penunjang
· Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
· Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
· Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
· Urinalisis : Menentukam kadar Albumin dan Glukosa
E. Penatalaksanaan
1. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
· Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
· Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar
· Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
· Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler)
· Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian obat-obatan
a) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap institusi
b) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
· Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
· Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
· Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
c) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
6. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah harus dibuka dan diganti
F. Pengkajian
1. Identitas klien
2. Keluhan utama klien saat ini
3. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien multipara
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Keadaan klien meliputi :
a. Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi. Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 mL
b. Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita. Menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan, ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.
c. Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet ditentukan).
d. Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi spinal epidural.
e. Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena trauma bedah, distensi kandung kemih , efek - efek anesthesia, nyeri tekan uterus mungkin ada.
f. Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
g. Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan utuh.
h. Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhea sedang.
G. Diagnosa Keperawatan dan Rencana Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan sekunder akibat pembedahan.
Tujuan : Setelah diberikan Asuhan Keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri klien berkurang / terkontrol dengan kriteria hasil :
· Klien melaporkan nyeri berkurang / terkontrol
· Wajah tidak tampak meringis
· Klien tampak rileks, dapat berisitirahat, dan beraktivitas sesuai kemampuan
Intervensi :
· Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi.
· Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif.
· Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (beraktivitas, tidur, istirahat, rileks, kognisi, perasaan, dan hubungan sosial)
· Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi progresif, latihan napas dalam, imajinasi, sentuhan terapeutik.)
· Kontrol faktor - faktor lingkungan yang yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya, dan suara)
· Kolaborasi untuk penggunaan kontrol analgetik, jika perlu.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka bekas operasi (SC)
Tujuan : Setelah diberikan Asuhan Keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
Klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil :
· Tidak terjadi tanda - tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesea)
· Suhu dan nadi dalam batas normal
· WBC dalam batas normal
Intervensi :
· Kaji adanya tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesa)
· Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic
· Inspeksi balutan abdominal terhadap eksudat / rembesan. Lepaskan balutan sesuai indikasi
· Pantau peningkatan suhu, nadi, dan pemeriksaan laboratorium jumlah WBC / sel darah putih
· Kolaborasi untuk pemeriksaan Hb dan Ht. Catat perkiraan kehilangan darah selama prosedur pembedahan
· Anjurkan intake nutrisi yang cukup
· Kolaborasi penggunaan antibiotik sesuai indikasi
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi
Tujuan : Setelah diberikan Asuhan Keperawatan selama 1x6 jam diharapkan ansietas klien berkurang dengan kriteria hasil :
· Klien terlihat lebih tenang dan tidak gelisah
· Klien mengungkapkan bahwa ansietasnya berkurang
Intervensi :
· Kaji respon psikologis terhadap kejadian dan ketersediaan sistem pendukung
· Tetap bersama klien, bersikap tenang dan menunjukkan rasa empati
· Observasi respon nonverbal klien (misalnya: gelisah) berkaitan dengan ansietas yang dirasakan
· Dukung dan arahkan kembali mekanisme koping
· Berikan informasi yang benar mengenai prosedur pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi
· Diskusikan pengalaman / harapan kelahiran anak pada masa lalu
· Evaluasi perubahan ansietas yang dialami klien secara verbal
4. Intoleransi Aktivitas b.d kelemahan, penurunan sirkulasi
Tujuan : Setelah diberikan Asuhan Keperawatan selama 3x24 jam diharapkan klien dapat beraktivitas dengan kriteria hasil
· Kllien dapat melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi
Intervensi :
· Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas
· Kaji pengaruh aktivitas terhadap kondisi luka dan kondisi tubuh umum
· Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari
· Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan/kondisi klien
· Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas
DAFTAR PUSTAKA
Abdul bari saifuddin,Prof Dr, 2002 , Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal, penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo, Jakarta
Arif Mansjoer. 2002. Asuhan Keperawatn Maternitas. Salemba Medika. Jakarta
Manuaba, I.B. 2002. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta : EGC
Nurjannah Intansari. 2010. Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC. Yogyakarta : mocaMedia
Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT Gramedi
Langganan:
Postingan (Atom)